Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib

Wednesday, April 22, 2009 |

Judul: Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib
Ditulis oleh: faritz pada Oktober 03, 2007, 08:12:18 pm


Judul : Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib
Penulis : Hyphatia Cneajna
Penerbit : Navila Idea, Yogyakarta
Tebal : xii + 192 halaman
Tahun Terbit : Agustus 2007
Harga : Rp. 29.500,-


Membaca buku setebal 192 halaman ini sangat menarik. Sampul bukunya berwarna coklat yang memudar menandakan aroma gothic yang begitu kental. Judul besarnya dengan embos warna merah menyala memang menarik mata untuk mengambilnya. Apalagi setelah membaca judulnya, Dracula. Memang awalnya akan mengira bahwa buku ini buku misteri seperti halnya buku tentang Dracula lainnya. Akan tetapi, judul kecil yang berbunyi "Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib", tentu segera membuat yang memegang buku ini ingin segara untuk membaca keterangan di sampul belakang. Setelah membaca kata demi kata di sampul belakang maka akan segera mengetahui bahwa buku ini berbeda dengan buku sejenis lainnya, semisal buku Dracula karya Bram Stoker.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini—nama yang tentunya agak asing bagi telinga orang Indonesia ini—yang lengkapnya berjudul Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib, bukan karya fiksi, tapi buku sejarah. Mungkin saja karena selama ini kisah tentang Dracula sudah lekat dengan vampir yang haus darah, maka penerbit buku ini perlu menambahkan kalimat "Kisah Kebiadaban Count Dracula yang Disembunyikan Selama 500 Tahun". Memang buku ini buku sejarah yang membabar riwayat Vlad Tepes atau kemudian dikenal dengan nama Dracula secara mendetail.

Bab I, yang merupakan pendahuluan, memaparkan tentang latar belakang Perang Salib. Perang yang terjadi hampir selama 5 abad ini telah banyak memakan korban, baik dari pihak Kristen maupun Islam. Dalam babakan terakhir perang tersebut, kekuatan yang terlibat dalam pertempuran semakin mengerucut, yaitu Kerajaan Honggaria—sebagai wakil Kristen—melawan Kerajaan Turki Ottoman/Usmaniah— sebagai wakil Islam. Dalam situasi inilah Dracula dilahirkan.

Riwayat hidup Dracula dibahas secara mendalam dalam Bab II. Nenek moyong Dracula, Randu Negru, merupakan pendiri kerajaan Wallachia, sebuah kerajaan yang dibatasi oleh Sungai Danube dan Pegunungan Carphatia. Kalau dilihat dalam peta dunia saat ini, Wallachia menjadi bagian dari negara Rumania. Randu Negru kemudian beranak pinak di wilayah tersebut. Salah satu keturunannya adalah Basarab/Vlad Dracul—"Dracul" berarti "naga"— yang merupakan ayah Dracula. Dracula merupakan anak kedua dari Vlad Dracul. Dracula mempunyai nama asli Vlad Tepes. Nama Dracula sendiri berasal dari bahasa Rumania, Draculea. Akhiran "ea" dalam bahasa Rumania berarti "anak dari", jadi Draculea berarti anak dari Dracul.

Sebagai anak yang sering ditinggal ayahnya dalam keberbagai peperangan membuat Dracula tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia. Ketidakbahagiaan ini semakin bertambah ketika pada umur 11/12 tahun ia harus menjadi tawanan Kerajaan Turki Ottoman. Walaupun di Turki ia diperlakukan dengan baik namun Dracula merasa bahwa dirinya telah dicampakkan dari masa kecil, kampung halaman, ibu serta keluarganya. Dari sinilah rasa dendam Dracula terhadap Kerajaan Turki Ottoman bermula.
Hampir selama 5 tahun Dracula berada di Turki. Ketika usinya beranjak 17 tahun ia dikirim oleh Kerajaan Turki Ottoman untuk mengisi kekosongan tahta Wallachia setelah kematian kakaknya. Tahta Wallachia pun akhirnya bisa ia duduki. Dan, sejak berkuasa inilah kekejaman Dracula mulai tampak. Selama masa pemerintahannya yang berlangsung hanya 6 tahun ia telah membantai kurang lebih 500.000 penduduk Wallachia. Tentu saja jumlah korban tersebut tidak bisa dikatakan kecil dalam konteks abad pertengahan.

Sebagian besar korban pembantaian Dracula dibunuh dengan cara yang keji. Sebelum dibunuh mereka disiksa terlebih dahulu. Macam-macam penyiksaan Dracula tersebut dibahas dalam Bab III buku ini. Metode penyiksaan yang digunakan Dracula untuk menyiksa korban-korbannya antara lain penyulaan, merebus korban hidup-hidup, memaku kepala korban, menjerat leher korban, merusak organ vital perempuan, dan beberapa metode penyiksaan lain yang tak kalah kejam. Di antara metode penyiksaan tersebut penyulaan merupakan yang paling terkenal. Penyulaan merupakan penyiksaan dengan cara memasukkan kayu—sebesar lengan tangan orang dewasa yang telah dilancipkan ujungnya—ke dalam anus. Setelah sula masuk kemudian tubuh korban dipancangkan sehingga kayu sula terus masuk menembus tubuh korban hingga tembus ke bagian leher, punggung, atau kepala. Biasanya penyiksaan semacam ini dilakukan oleh Dracula secara massal, sehingga sekali melakukan "upacara" penyulaan jumlah korbannya bisa mencapai 2.000
orang.

Di antara korban-korban Dracula sebagian besar adalah umat Islam. Siapa saja umat Islam yang menjadi korban Dracula dijelaskan dalam Bab IV. Hyphatia memperkirakan jumlah korbannya mencapai 300.000 orang. Mereka ini sebagian besar merupakan pendukung Kerajaan Turki Ottoman yang berada di wilayah Wallachia. Sebagian besar korban tersebut dibunuh dengan cara disula, sebagian yang lain dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup, diracuni dan disiksa dengan cara yang lain. Masa inilah dikenal di Wallachia sebagai masa teror yang paling mengerikan.

Masa teror terhadap umat Islam dan penduduk Wallachia baru berakhir ketika Dracula terbunuh. Tentang di mana Dracula terbunuh dan kuburannya dipaparkan di Bab V. Dalam bab ini didedah segala mitos yang melingkupi Dracula, termasuk kuburan Dracula yang setelah digali ternyata tak ada jasadnya lagi. Pun, dibahas tentang kematian-kematian misterius yang menimpa penduduk Wallachia dan sekitarnya setelah kematian Dracula, yang konon kabarnya kematian tersebut ada hubungannya dengan Dracula.
Segala bentuk kekejaman Dracula yang dipaparkan dalam bab demi bab buku ini masih tertutupi hingga kini. Sampai saat ini Dracula lebih dikenal sebagai vampir yang haus darah daripada pembunuh berdarah dingin. Hal ini terjadi karena Barat memang berusaha mengaburkan kisah hidup Dracula yang sesungguhnya. Mengapa Barat berusaha keras menyembunyikan jadi diri Dracula? Apa hubungan Dracula dengan bawang putih dan salib dalam konteks penjajahan sejarah? Mengapa pembunuh Dracula yang sebenarnya tidak banyak ditampilkan? Semua jawaban dari pertanyaan-pertanya an tersebut diuraikan dengan tuntas oleh Hyphatia di Bab VI karyanya.

Buku karya Hyphatia Cneajna ini menarik karena dua hal. Pertama, buku ini menampilkan fakta-fakta yang belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Pada saat membacanya segala fakta-fakta yang ada dalam buku ini ibarat tamparan yang membuat kita sadar bahwa selama ini sosok Dracula merupakan sosok nyata yang kemudian lebih dikenal sebagai sosok fiski. Kedua, buku ini mengajak kita untuk selalu kritis terhadap sejarah. Sebuah sejarah yang seakan-akan sudah menjadi kebenaran ternyata seringkali berisi kebohongan-kebohong an. Dengan dua kelebihan ini—dan tentunya dengan kekurangan yang ada di dalamnya—buku ini layak dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat.